PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM SASTRA
Oleh : luthfi lukmanul hakim
A.
Pendahuluan
Per-empu-an, demikianlah penggalan
kata yang benar. Empu dengan imbuhan per-an menunjukkan kata benda yaitu
seseorang yang di-empu-kan. Empu artinya mulia dan dihormati, mengasihi. Maka
arti kata perempuan adalah seseorang yang dihormati dan bersifat mengasihi.
Dalam rasa bahasa, kita temukan kata ‘perempuan’ memiliki kekuatan rasa bahasa
yang meneduhkan.
Dua
puluh satu April, merupakan salah satu hari besar nasional yang dikenal dengan
sebutan “Hari Kartini”. Mengapa begitu monumentalnya seorang Raden Ajeng
Kartini dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia?
Raden
Ajeng Kartini adalah seorang perempuan bangsawan yang terbelenggu dan terjajah
oleh adat dan feodalisme. Ia memberontak melalui kemerdekaan berpikirnya untuk
mendapatkan kesempatan dan kesetaraan dalam pendidikan bagi kaum perempuan.
Pikiran dan perasaannya itu dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang kemudian
dibukukan sebagai kumpulan surat-suratnya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Ada
sebuah ungkapan “satu peluru hanya menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa
menembus ribuan bahkan jutaan kepala”. Tulisan yang menembus ribuan dan jutaan
kepala itu tentu adalah tulisan yang di dalamnya tercermin energi, rasa bahasa,
pesona dan daya tarik yang mengaduk-aduk pikiran dan perasaan serta imajinasi
pembacanya. Di sanalah kekuatan rasa bahasa itu menunjukan siapa diri kita.
,
Salah satu
fokus kajian yang menarik dan sedang menjadi trend saat ini adalah citra perempuan dalam kesusastraan sebuah
bangsa. Peran dan kedudukan perempuan dalam sastra akan menjadi sentral
pembahasan kajian ini.
B.
Sejarah
Munculnya Gender
Kesetaraan
perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya 'emansipasi' di tahun
1950-1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang
mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesetaraan
perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari
konferensi PBB tahun 1975, dengan tema Women In Development (WID) yang
memprioritaskan pembangunan bagi perempuan yang dikembangkan dengan
mengintegrasi perempuan dalam pembangunan.
Setelah
itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan
pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an berbagai studi
menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada kuantitas, maka
tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD).
Tahun
1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa
kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan
perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka
dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD)
yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan
dan laki-laki.
Pada
tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan 'The Millenium Development Goals'
(MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai
cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta
menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.[1]
C.
Pemberdayaan Perempuan Dalam Sastra
Feminisme merupakan gerakan pemberdayaan
perempuan (women empowering) dari segala bentuk diskriminasi baik secara
agama, sosial, ekonomi, dan politik. Asal mula gerakan ini muncul di Amerika
Serikat yang dipicu oleh aspek politik, yaitu ketika rakyat Amerika
memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1776 dengan menyebutkan bahwa all
men are created equal (semua laki-laki diciptakan sama). Pernyataan
itu tanpa menyebut perempuan sehingga kaum feminis menentangnya. Sementara itu,
aspek agama pun juga memicu munculnya gerakan feminis, menurut kitab injil yang
mengutip ucapan Santo Paulus ‘dan kepala setiap perempuan adalah laki-laki, di
gereja hendaknya perempuan diam karena dia tidak diizinkan berbicara’. Kemudian
pada aspek sosial gerakan ini dipengaruhi oleh konsep sosialisme yang
mengatakan, perempuan adalah suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh
kelas lain, yaitu laki-laki. Jenis
kelamin itu membuat banyak perbedaan dalam sistem kehidupan. Ada asumsi: wanita
memiliki persepsi yang berbeda dengan laki-laki dalam membaca sastra (Sugihastuti, 2001)
Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya
terjadi di tempat pekerjaan, tetapi juga terjadi dalam rumah tangga,
masyarakat, atau kultur dan bahkan negara. Subordinasi perempuan terjadi karena
adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan
tidak dapat tampil untuk memimpin, mengakibatkan munculnya sikap menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga memunculkan terjadinya
pelecehan terhadap kaum perempuan seperti tindak kekerasan terhadap perempuan
dan ketidakadilan jender.
Kekerasan terhadap perempuan yang sering terjadi adalah
bentuk pemerkosaan terhadap perempuan termasuk pemerkosaan dalam perkawinan,
tindakan pemukulan atau serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga,
pelecehan terhadap perempuan, dan kekerasan terselubung. Adapun ketidakadilan
jender dan beban kerja adalah adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat
bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan,
seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah
dibandingkan pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, serta
dikategorikan sebagai bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam
statistik ekonomi Negara. sebagai sebab penindasan terhadap perempuan. Ini mengacu
pada kondisi realitas sosial yang memosisikan bapak sebagai pemegang kontrol
(kendali) atas seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang pendapatan, dan
pemegang keputusan (Jupriono & Andayani, 2009)
Secara umum dapat dikatakan bahwa feminisme
digunakan untuk menyebutkan istilah yang melingkupi persoalan perempuan atau
yang membicarakan masalah penindasan terhadap perempuan dari pelbagai aspek
sosial, politik, ekonomi, dan agama.yang dilakukan oleh laki-laki. Dalam
konteks ini, feminisme mempunyai hubungan yang erat dengan kesastraan karena
diyakini bahwa selama ini kesastraan dihasilkan di bawah pengaruh masyarakat patriarki,
yaitu masyarakat yang dikuasai oleh laki-laki.
Dengan alasan tersebutlah maka pendekatan feminisme hadir
untuk memberi perhatian pada representasi wanita dalam kesastraan dengan tujuan
untuk membebaskan mereka dari kekangan yang menekan. Relasi yang tidak
menguntungkan ini nampaknya membangun citra pandang masyarakat terhadap
perempuan sehingga menimbulkan kesan bahwa perempuan hanya cocok di dalam ranah
domestik, demikian juga dengan karya sastra yang dihasilkannya pun tidak luput
dari pengaruh patriarki. Perempuan dalam beberapa genre karya sastra
digambarkan sebagai makhluk yang patuh, tunduk, dan mau menerima.
Persoalan feminisme memang sesuatu yang menarik untuk
dibahas, terutama konseptualisasi feminisme dalam karya sastra yang dikarang oleh
pengarang wanita. Banyak pengarang wanita mencoba untuk ‘memberontak’ terhadap
dominasi pengarang laki-laki dalam kesastraan Indonesia, yang umumnya cenderung
menggambarkan sosok perempuan dengan rasa, perasaan, dan sudut pandang seorang
laki-laki. Pengarang wanita tentu memilki imajinasi tersendiri ketika
memunculkan sosok perempuan dalam karyanya sehingga gambaran citra perempuan
yang muncul sudah seharusnya mewakili diri perempuan itu sendiri atau
setidaknya mewakili sifat keperempuan yang dimilki oleh diri pengarang.
Kenyataan ini dapat dilihat dengan munculnya pengarang wanita yang menulis
karya-karya sastra dengan berusaha menggambarkan sosok perempuan berdasarkan
perasaan dan perspektif keperempuanannya. Karya-karya Ayu Utami, Nova Riyanti
Yusuf, Lan Fang, Ani Sekarningsih dan Djenar Maesa Ayu merupakan sejumlah
pengarang wanita yang tentunya dalam proses kreatif penciptaan karya mereka,
berusaha untuk menggambarkan keberadaan aktualisasi seorang perempuan dengan
‘perasaan’ keperempuanan yang secara alami mereka miliki. Karya sastra pun sering mencitrakan
perempuan seperti yang menjadi tuntutan masyarakat dan inilah yang hendak
digugat pandangan ini. Karya sastra, dengan demikian, harus membebaskan cara
berfikir perempuan
(Djajanegara, 2000: 28).
D.
Penutup.
Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi pemandangan yang
biasa, kekerasan itu termasuk kekerasan fisik, psikologis dan seksual.
kekerasan seksual yang dilakukan para tokoh laki-laki terhadap tokoh-tokoh
perempuan pada dua karya ini didasarkan pada stereotipe bahwa kaum perempuan
adalah kaum yang lemah dan tidak memiliki banyak tenaga untuk melawan
laki-laki. Laki-laki seenaknya menindas perempuan karena merasa perempuan tidak
berarti dan mereka begitu perkasa untuk membuat perempuan-perempuan itu tunduk
di hadapannya.
Dalam konteks ini, feminisme
mempunyai hubungan yang erat dengan kesastraan karena diyakini bahwa selama ini
kesastraan dihasilkan di bawah pengaruh masyarakat patriarki, yaitu masyarakat
yang dikuasai oleh laki-laki. Dengan alasan tersebutlah maka pendekatan
feminisme hadir untuk memberi perhatian pada representasi wanita dalam
kesastraan dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari kekangan yang menekan
E.
Daftar rujukan
Sugihastuti. 2001. “Cerita
sebagai Wacana: Analisis Kritik Sastra Feminis”. Hal. 225-256 dalam
Sumijati As. (ed.),
Djajanegara, S.. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jupriono, D. & A. Andayani. 2009. “Ketimpangan
Gender dalam Kosakata dan Ungkapan Bahasa Indonesia”. www.sastra-bahasa.blogspot.com/2009
Good web
BalasHapus