Minggu, 15 Desember 2013

PEREMPUAN DALAM SASTRA



PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM SASTRA
Oleh : luthfi lukmanul hakim


A.    Pendahuluan 
            Per-empu-an, demikianlah penggalan kata yang benar. Empu dengan imbuhan per-an menunjukkan kata benda yaitu seseorang yang di-empu-kan. Empu artinya mulia dan dihormati, mengasihi. Maka arti kata perempuan adalah seseorang yang dihormati dan bersifat mengasihi. Dalam rasa bahasa, kita temukan kata ‘perempuan’ memiliki kekuatan rasa bahasa yang meneduhkan.
Dua puluh satu April, merupakan salah satu hari besar nasional yang dikenal dengan sebutan “Hari Kartini”. Mengapa begitu monumentalnya seorang Raden Ajeng Kartini dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia?
            Raden Ajeng Kartini adalah seorang perempuan bangsawan yang terbelenggu dan terjajah oleh adat dan feodalisme. Ia memberontak melalui kemerdekaan berpikirnya untuk mendapatkan kesempatan dan kesetaraan dalam pendidikan bagi kaum perempuan. Pikiran dan perasaannya itu dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang kemudian dibukukan sebagai kumpulan surat-suratnya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
            Ada sebuah ungkapan “satu peluru hanya menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus ribuan bahkan jutaan kepala”. Tulisan yang menembus ribuan dan jutaan kepala itu tentu adalah tulisan yang di dalamnya tercermin energi, rasa bahasa, pesona dan daya tarik yang mengaduk-aduk pikiran dan perasaan serta imajinasi pembacanya. Di sanalah kekuatan rasa bahasa itu menunjukan siapa diri kita.
,           Salah satu fokus kajian yang menarik dan sedang menjadi trend saat ini adalah citra perempuan dalam kesusastraan sebuah bangsa. Peran dan kedudukan perempuan dalam sastra akan menjadi sentral pembahasan kajian ini.

B.     Sejarah Munculnya Gender
            Kesetaraan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya 'emansipasi' di tahun 1950-1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesetaraan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, dengan tema Women In Development (WID) yang memprioritaskan pembangunan bagi perempuan yang dikembangkan dengan mengintegrasi perempuan dalam pembangunan.
            Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD).
            Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.
            Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan 'The Millenium Development Goals' (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.[1]
C.    Pemberdayaan Perempuan Dalam Sastra
   Feminisme merupakan gerakan pemberdayaan perempuan (women empowering) dari segala bentuk diskriminasi baik secara agama, sosial, ekonomi, dan politik. Asal mula gerakan ini muncul di Amerika Serikat yang dipicu oleh aspek politik, yaitu ketika rakyat Amerika memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1776 dengan menyebutkan bahwa all men are created equal (semua laki-laki diciptakan sama). Pernyataan itu tanpa menyebut perempuan sehingga kaum feminis menentangnya. Sementara itu, aspek agama pun juga memicu munculnya gerakan feminis, menurut kitab injil yang mengutip ucapan Santo Paulus ‘dan kepala setiap perempuan adalah laki-laki, di gereja hendaknya perempuan diam karena dia tidak diizinkan berbicara’. Kemudian pada aspek sosial gerakan ini dipengaruhi oleh konsep sosialisme yang mengatakan, perempuan adalah suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas lain, yaitu laki-laki. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan dalam sistem kehidupan. Ada asumsi: wanita memiliki persepsi yang berbeda dengan laki-laki dalam membaca sastra (Sugihastuti, 2001)
             Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan, tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, atau kultur dan bahkan negara. Subordinasi perempuan terjadi karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak dapat tampil untuk memimpin, mengakibatkan munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga memunculkan terjadinya pelecehan terhadap kaum perempuan seperti tindak kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan jender.
            Kekerasan terhadap perempuan yang sering terjadi adalah bentuk pemerkosaan terhadap perempuan termasuk pemerkosaan dalam perkawinan, tindakan pemukulan atau serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga, pelecehan terhadap perempuan, dan kekerasan terselubung. Adapun ketidakadilan jender dan beban kerja adalah adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan yang dianggap sebagai  pekerjaan laki-laki, serta dikategorikan sebagai bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi Negara. sebagai sebab penindasan terhadap perempuan. Ini mengacu pada kondisi realitas sosial yang memosisikan bapak sebagai pemegang kontrol (kendali) atas seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang pendapatan, dan pemegang keputusan (Jupriono & Andayani, 2009)
  Secara umum dapat dikatakan bahwa feminisme digunakan untuk menyebutkan istilah yang melingkupi persoalan perempuan atau yang membicarakan masalah penindasan terhadap perempuan dari pelbagai aspek sosial, politik, ekonomi, dan agama.yang dilakukan oleh laki-laki. Dalam konteks ini, feminisme mempunyai hubungan yang erat dengan kesastraan karena diyakini bahwa selama ini kesastraan dihasilkan di bawah pengaruh masyarakat patriarki, yaitu masyarakat yang dikuasai oleh laki-laki.
Dengan alasan tersebutlah maka pendekatan feminisme hadir untuk memberi perhatian pada representasi wanita dalam kesastraan dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari kekangan yang menekan. Relasi yang tidak menguntungkan ini nampaknya membangun citra pandang masyarakat terhadap perempuan sehingga menimbulkan kesan bahwa perempuan hanya cocok di dalam ranah domestik, demikian juga dengan karya sastra yang dihasilkannya pun tidak luput dari pengaruh patriarki. Perempuan dalam beberapa genre karya sastra digambarkan sebagai makhluk yang patuh, tunduk, dan mau menerima.
            Persoalan feminisme memang sesuatu yang menarik untuk dibahas, terutama konseptualisasi feminisme dalam karya sastra yang dikarang oleh pengarang wanita. Banyak pengarang wanita mencoba untuk ‘memberontak’ terhadap dominasi pengarang laki-laki dalam kesastraan Indonesia, yang umumnya cenderung menggambarkan sosok perempuan dengan rasa, perasaan, dan sudut pandang seorang laki-laki. Pengarang wanita tentu memilki imajinasi tersendiri ketika memunculkan sosok perempuan dalam karyanya sehingga gambaran citra perempuan yang muncul sudah seharusnya mewakili diri perempuan itu sendiri atau setidaknya mewakili sifat keperempuan yang dimilki oleh diri pengarang. Kenyataan ini dapat dilihat dengan munculnya pengarang wanita yang menulis karya-karya sastra dengan berusaha menggambarkan sosok perempuan berdasarkan perasaan dan perspektif keperempuanannya. Karya-karya Ayu Utami, Nova Riyanti Yusuf, Lan Fang, Ani Sekarningsih dan Djenar Maesa Ayu merupakan sejumlah pengarang wanita yang tentunya dalam proses kreatif penciptaan karya mereka, berusaha untuk menggambarkan keberadaan aktualisasi seorang perempuan dengan ‘perasaan’ keperempuanan yang secara alami mereka miliki. Karya sastra pun sering mencitrakan perempuan seperti yang menjadi tuntutan masyarakat dan inilah yang hendak digugat pandangan ini. Karya sastra, dengan demikian, harus membebaskan cara berfikir perempuan (Djajanegara, 2000: 28).
D.    Penutup.
Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi pemandangan yang biasa, kekerasan itu termasuk kekerasan fisik, psikologis dan seksual. kekerasan seksual yang dilakukan para tokoh laki-laki terhadap tokoh-tokoh perempuan pada dua karya ini didasarkan pada stereotipe bahwa kaum perempuan adalah kaum yang lemah dan tidak memiliki banyak tenaga untuk melawan laki-laki. Laki-laki seenaknya menindas perempuan karena merasa perempuan tidak berarti dan mereka begitu perkasa untuk membuat perempuan-perempuan itu tunduk di hadapannya.
Dalam konteks ini, feminisme mempunyai hubungan yang erat dengan kesastraan karena diyakini bahwa selama ini kesastraan dihasilkan di bawah pengaruh masyarakat patriarki, yaitu masyarakat yang dikuasai oleh laki-laki. Dengan alasan tersebutlah maka pendekatan feminisme hadir untuk memberi perhatian pada representasi wanita dalam kesastraan dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari kekangan yang menekan
E.     Daftar rujukan
Sugihastuti. 2001. “Cerita sebagai Wacana: Analisis Kritik Sastra Feminis”. Hal. 225-256 dalam Sumijati As. (ed.),
Djajanegara, S.. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Jupriono, D. & A. Andayani. 2009. “Ketimpangan Gender dalam Kosakata dan Ungkapan Bahasa Indonesia”. www.sastra-bahasa.blogspot.com/2009

1 komentar: