SASTRA
ANGKATAN 2000-AN / REFORMASI
(UNTUK
MENEMPUH TUGAS MATA KULIAH SEJARAH SASTRA)
UNIVERSITAS
ISLAM MAJAPAHIT
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan,
tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah
Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya
yang tiada terkira besarnya,
Sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ”SASTRA INDONESIA ANGKATAN 2000-AN
/ REFORMASI”.yang membahas secara singkat tentang karya sastra pada tahun
2000-an. Dimana karya sastra angkatan yang dulu tidak banyak orang yang
menyukai. pada angkatan 2000-an ini mulai banyak orang yang menyukai karya
sastra.
Dalam
penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang
tua dan segenap keluarga besar yang telah memberikan dukungan, kasih, dan
kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal,
semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah
yang lebih baik lagi.
Meskipun
penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wasalamualaikum warahmatullahi
wabarokatuh
Mojokerto 25 Mei 2013
DAFTAR ISI
Cover……………………………………………………………………….1
Kata
pengantar……………………………………………………………...2
Daftar
isi…………………………………………………………………....3
BAB 1 (Pendahuluan)
1.1 Latar belakang………………………………………………………….4
1.2 Rumusan
masalah……………………………………………………….4
1.3 Tujuan…………………………………………………………………..5
BAB 2 (Pembahasan)
2.1 Latar belakang lahirnya sastra
reformasi………………………………..6
2.2 Peristiwa
reformasi……………………………………………………...6
2.3 Sastrawan yang terlibat dengan
reformasi………………………………8
2.4 Karakteristik sastra
reformasi…………………………………..………10
2.5 Karya
terpopuler…………………………………………………..……10
BAB 3 (Penutup)
3.1 Kesimpulan…………………………………………..…………………15
3.2 daftar
rujukan……………………………………………………...……15
BAB 1
(PENDAHULUAN)
1.1
Latar Belakang
Belakangan ini perkembangangan
sastra Indonesia telah mengalami perubahan, khususnya dalam hal kebebasan
berekspresi. Menurut beberapa para ahli,mengatakan bahwa sastra itu adalah
kebebasan itu sendiri. Jadi tidak ada batasan-batasan yang bisa menahan lajunya
perkembangan kesusasteraan khususnya di Indonesia.
Pada dasarnya perkembangan sastra itu selalu berkembang dan
perkembangan itu menurut para ahli ditandai dengan periode-periode, yang pada
dasarnya memiliki ciri khas tersendiri. Salah satu periode itu adalah sastra
pasca-reformasi. Dalam makalah ini saya secara khusus membahas tentang SASTRA
INDONESIA ANGKATAN 2000-AN /REFORMASI, yang secara langsung menjadi judul atas
makalah ini.
Kehadiran karya sastra merupakan sebuah manifestasi atas
kebudayaan yang ada pada saat itu. Terbentuknya sastra pasca-reformasi
merupakan hal yang dilematis dari sejarah sastra Indonesia. Periode yang
ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto. Periode yang lahir dengan semangat
revolusioner. Kemungkinan periode ini merupakan jendela bagi perkembangan
kesusasteraan di Indonesia. Dan seharusnya setiap detail dalam perkembangan itu
harus terus kita catat dan kita gali
1.2 Rumusan masalah
1.
Bagaimana latar belakang lahirnya sastra reformasi?
2.
Peristiwa apa saja pada reformasi ?
3.
Siapa sastrawan yang terlibat pada masa itu ?
4.
Apa saja karakteristik sastra pada masa itu ?
5.
Apa saja karya terpopuler pada masa itu ?
C. Tujuan
1.
Memahami latar belakang lahirnya sastra pasca
reformasi
2.
Mengetahui Peristiwa apa saja pada pasca reformasi
3.
Mengetahui siapa sastrawan yang terlibat pada masa itu
4.
Memahami apa saja karakteristik sastra pada masa itu
5.
Mengetahui apa saja karya terpopuler pada masa itu
BAB 2
(PEMBAHASAN)
2.1 Latar belakang
lahirnya angkatan 2000
Setelah wacana tentang lahirnya
sastrawan Angkatan Reformasi muncul,namun tidak berhasil dikukuhkan karena
tidak memiliki ‘Juru bicara’ . Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar
wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal yang
diterbitkan oleh Gramedia,Jakarta tahun 2002,seratus lebih
penyaiir,cerpennis,novelis,esais dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam
Angkatan 2000,termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun 1980-an,seperti
Afrisal Malna,Abmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma. Serta yang
muncul pada akhir tahun 1990-an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Menurut Korrie,Afrisal Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat
missal benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu dari
interaksi missal.
Setelah terjadi reformasi,ruang gerak masyarakat pada awalnya merasa selalu dibekap dan terganjal oleh gaya pemerintahan Orde Baru yang represif tiba-tiba memperoleh saluran kebebasan yang leluasa. Kesusastraan seperti dalam sebuah pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja namun ada suasana tertentu yang mematangkannya. Angkatan 2000 adalah nama yang diberikan oleh Korrie Layun Rampan. Ada sejumlah pengarang yang melahirkan wawasan estetik baru pada tahun 1990-an dan tokoh-tokoh Angkatan ini adalah:
1. Afrisal Malna
2. Seno Gumira Ajidarma
3. Ayu Utami
Setelah terjadi reformasi,ruang gerak masyarakat pada awalnya merasa selalu dibekap dan terganjal oleh gaya pemerintahan Orde Baru yang represif tiba-tiba memperoleh saluran kebebasan yang leluasa. Kesusastraan seperti dalam sebuah pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja namun ada suasana tertentu yang mematangkannya. Angkatan 2000 adalah nama yang diberikan oleh Korrie Layun Rampan. Ada sejumlah pengarang yang melahirkan wawasan estetik baru pada tahun 1990-an dan tokoh-tokoh Angkatan ini adalah:
1. Afrisal Malna
2. Seno Gumira Ajidarma
3. Ayu Utami
2.2 Peristiwa yang
Terjadi pada Masa Reformasi
Reformasi
di Indonesia ditandai dengan jaruhnya rezim Soeharto. Secara tidak langsung
dengan lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden maka berakhir pula
sebuah tirani, yang selama ini menjadi belenggu yang terikat lekat di kaki
setiap rakyat Indonesia. Reformasi diharapkan dapat memfalitasi rakyat
Indonesia dalam memperoleh kebebasan yang selama ini mereka harapkan.
Lahirnya reformasi ini menandakan kebebasan bagi para
sastrawan yang selama ini selalu terkungkung dalam lembah kelam. Bagi mereka
yang memiliki sifat revolusioner, kehadiran reformasi ini merupakan momok yang
selalu diidam-idamkan. Akan tetapi, kenyataaannya malah membuat mereka semakin
radikal.
Berikut
adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini :
- 2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
- 2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.
- 2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.
- 2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
- 2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
- 2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.
- 2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.
- 2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
- 2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia.
2.3 Sastrawan yang Terlibat
Dengan Sastra Reformasi
Setiap angkatan pasti mempunyai cara dan gaya
yang khas dalam mengungkapkan hasrat dan imajinasinya. Hal ini tidak dapat
dihindarkan dari sastrawan yang adalah penggerak dan penghadir karya sastra itu
sendiri.
Sastra reformasi diramaikan oleh wajah-wajah
baru, namun masih ada juga wajah lama yang masih menghiasi wajah kesusasteraan
Indonesia. Berikut ini ada beberapa nama sastrawan yang secara langsung
terlibat dalam perkembangan sastra reformasi.
- Keith Foulcher dengan empat bukunya, yakni Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia (2000), Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991), Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (1994), dan Social Commitment in Literatureand The Arts: The Indonesian Institute People s Culture 1950-1965 (1986)
- Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman.
- Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
- Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor, Ignas Kleden,
- Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
- Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
- Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma
- Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang
- Ayu Utami (pengarang novel Saman, Larung) Djenar Maesa Ayu (pengarang Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu dan Nayla), Hudan Hidayat (pengarang Tuan & Nyonya Kosong, bersama Mariana Aminudin), Muhidin M Dahlan (pengarang Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, Adam & Hawa)
Masih banyak sastrawan yang bermunculan dalam periode ini
khususnya para cerpenis yang nama-namanya sudah tidak asing lagi seperti :
- Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto.
- Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI.
- Linda Christanty dengan antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004)
Begitu
juga dengan cerpenis baru yang diprediksikan akan menjadi sastrawan Indonesia
selanjutnya, seperti nama-nama berikut :
- Eka Kurniawan dalam karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000), Cantik itu Luka (2002), Harimau (2004), antologi cerpen Cinta tak Ada Mati (2005)
- Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005).
- Cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.
Beberapa nama di atas menandakan bahwa perkembangan sastra
Indonesia pasca-reformasi telah mengalami peningkatan yang signifikan. Hal
inilah yang sesungguhnya diharapkan oleh kita, sehingga dapat menghindari
kecendrungan stagnasi dalam kesusasteraan Indonesia
2.4 Karakteristik
karya sastra angkatan 2000-an
1.
Menggunakan kata-kata maupun frase
yang bermakna kontatif (makna yang mempunyai hubungan/kaitan)
2.
Banyak menyindir keadaan sekitar
baik sosial, budaya, politik, atau lingkungan
3.
Revolusi tipografi atau tata wajah
yang bebas aturan dan kecenderungan ke puisi kongkret yang di sebut
antromofisme
4.
Kritik sosial sering muncul lebih
keras
5.
Penggunaan estetika baru
6.
Karya cenderung vular,
7.
Mulai bermunculan fiksi-fiksi
islami,
8.
Munculnya cyber sastra di Internet
9.
Ciri-ciri bahasa diambil dari bahasa
sehari-hari yaitu kerayatjelataan,
10. Karya
satra pada angkatan ini mulai berani memunculkan karya sastra yang cenderung
berbau vulgar dan kebanyakan mengadopsi
begitu saja moral pergaulan bebas ala amerika
2.5
Karya yang Populer
Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode reformasi
merupakan masa paling semarak dan luar biasa. Kini, karya-karya sastra terbit
seperti berdesakan dengan tema dan pengucapan yang beraneka ragam. Faktor utama
yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja
disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan.
Kehidupan pers yang terkesan serbabebas serbaboleh ikut mendorong terjadinya
perkembangan itu. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas
terbuka. Di sana, para pemainnya seolah-olah boleh berbuat dan melakukan apa
saja.
Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada
paroh pertama reformasi mengalami booming. Cerpen telah sampai pada
jatidirinya. Ia tak lagi sebagai selingan di hari Minggu. Kini, cerpenis
dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis atau penyair.
Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis novel.
Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:
a. kesemarakan media massa
–suratkabar dan majalah—telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis
untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas.
Cerpen ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat
kabar minggu, ia seperti sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger
dan menyapa para pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.
b. adanya kegiatan lomba menulis
cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada
event atau peristiwa tertentu. Majalah Horison setiap tahun menyelenggarakan
lomba penulisan cerpen. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau lembaga lain yang
juga melakukan kegiatan serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru
dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya.
Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.
c. terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh
Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen yang diselenggarakan berkala
dalam dua tahun sekali –di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), dan
kongres mendatang di Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra
cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan
keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu,
usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk
diterbitkan, memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan
keadaan sebelumnya.
Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu
semarak dan memperoleh tempat istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan
belum cukup signifikan. Masalahnya, secara substansial sejumlah cerpenis muda
yang muncul belakangan, harus diakui, belum menunjukkan usahanya mengusung
sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi sebuah mainstream. Arus besar
cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama lama yang
memang telah menjadi ikon cerpen Indonesia kontemporer. Cerpen Indonesia
mutakhir masih tetap tak dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru
sebelum terjadi reformasi, seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo,
Danarto, dan sederet panjang nama lain yang tergolong pemain lama. Mereka masih
tetap menjadi bagian penting dalam peta cerpen Indonesia pascareformasi. Jadi,
cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua ikut menyemarakkan peta cerpen
Indonesia.
Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi
mereka yang terlibat PKI. Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia
sudah matang sebelum terjadi reformasi. Maka, ketika terbit Leontin Dewangga
(2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai pendatang baru, melainkan pada
hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada zaman Orde Baru. Dari
sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu
berbeda dengan Linda Christanty yang juga sebenarnya termasuk pemain lama.
Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) seolah-olah memperlihatkan
ketergodaannya pada model dan style yang sedang semarak pada saat itu.
Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran malah seperti sengaja
membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru menempati
posisi yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda telah memilih cara
itu.
Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka
Kurniawan. Karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula
hadir kurang meyakinkan. Tetapi ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit
yang ternyata mengundang kontroversi, namanya mulai diperhitungkan. Setelah itu
terbit pula novel kedua, Lelaki Harimau (2004) yang memamerkan kepiawaian
melakukan eksperimen. Dalam antologi cerpen yang terbit belakangan, Cinta tak
Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan semangat eksperimentasinya. Cerpen yang
berjudul “Bau Busuk” menunjukkan kesungguhan Eka melakukan eksperimen.
Azhari, cerpenis kelahiran Aceh adalah pendatang baru yang
lain lagi. Cerpennya, “Yang Dibalut Lumut” yang menjadi Juara Pertama Lomba
Penulisan Cerpen Festival Kreativitas Pemuda, Depdiknas—Creative Writing
Institute memperlihatkan kekuatannya dalam mengungkap kepedihan rakyat Aceh
yang terjepit dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan (: TNI) dan
Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan sebuah potret kultural dan
tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian
masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2004)
memperlihatkan sosok Azhari yang matang dalam memandang persoalan Aceh dalam
tarik-menarik sejarah dan kebudayaannya yang agung dengan kondisi sosial dan
politik yang menimpa rakyat Aceh yang justru menebarkan luka dan kepedihan.
Boleh jadi antologi ini merupakan potret yang merepresentasikan kegelisahan
masyarakat Aceh dalam tarik-menarik itu.
Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung
Banua hadir meyakinkan. Antologi cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003),
Ziarah bagi yang Hidup (2004), dan Parang tak Berulu (2005) menunjukkan
perkembangan kepengarangannya yang makin kuat. Lihat saja, cerpennya ““Cerobong
Tua Terus Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra Horison 2004.
Cerpen yang lain, “Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam sayembara itu.
Salah satu kekuatan Raudal adalah narasinya yang sanggup menciptakan suasana peristiwa
begitu intens, metaforis, dan asosiatif. Pembaca dibawa masuk ke dunia
entah-berantah. Lalu, tiba-tiba merasa ikut menjadi saksi peristiwa yang
diangkat cerpen itu.
Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan
penting Indonesia, dapat disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho
(Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga
Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing,
2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W
Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta,
2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004),
Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi,
2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah
Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005).
Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan
kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut
menentukan perkembangan sastra Indonesia.
Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam lima
tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda
Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan
matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet,
2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca
Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal
(Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain
(Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005),
Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak
seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim
atau Abidah el-Khalieqy.
Yang menarik dari karya cerpenis perempuan ini adalah
semangatnya melakukan gugatan. Tokoh-tokoh perempuan yang dalam banyak karya
para penulis laki-laki kerap menjadi korban dan tersisih, dalam karya para
penulis perempuan itu, justru cenderung berada dalam posisi yang sebaliknya.
Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan kalah sebagai pecundang di bawah
kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu berani mengangkat perkara
seks untuk membungkus pesan ideologi jendernya.
Deretan panjang nama-nama lain yang kerap muncul di hari
Minggu, patut pula mendapat perhatian. Tentu dengan melihat daya tahan dan
konsistensinya mempertahankan kualitas dan kontribusi mereka bagi pemerkayaan
khazanah cerpen Indonesia mutakhir. Akhirnya, seperti sinyalemen Budi Darma,
dalam keadaan overproduksi, pengamatan cerpen Indonesia mutakhir dengan
analisis yang mendalam, tak mungkin dapat dilakukan dalam rentang waktu yang
pendek. Kita sekarang ini seperti sedang berhadapan dengan air bah yang bernama
cerpen Indonesia kontemporer dan kita hanyut terseret dalam gelombang besar
deras arusnya.
BAB
3
(PENUTUP)
3.1 KESIMPULAN
Perkembangan sastra di Indonesia sepertinya mengalami problematika
tersendiri. Terkadang periode kesusasteraan sulit sekali ditentukan dimana
sebuah periode itu dimulai. Secara teori sejarah kesusasteraan di Indonesia ini
masih tergolong muda, belum sampai berumur satu abad, sehingga masih banyak
lobang-lobang yang perlu di gali. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu bentuk kajian
yang diharapkan mampu menarik dan menghidupkan sastra di Indonesia. Sastra
Indonesia reformasi merupakan contoh kecil dari sejarah kesusasteraan Indonesia
yang masih muda ini. Perlu di ketahui bahwa dengan mempelajari sastra berarti
secara tidak langsung juga kita mempelajari sejarah yang membentuk sastra itu
sendiri.
Setelah melakukan beberapa pendekatan yang disarankan,
penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa perkembangan sastra Indonesia reformasi
telah sampai pada hakikatnya, yaitu bebas berekspresi. Reformasi telah
menghantarkan sastra Indonesia ini pada bentuk yang baru, bentuk yang lebih
radikal dan transparan. Sebagai contoh adalah cerpen, yang dalam perkembangannya
sebelum reformasi tidak pernah mendapat tempat tertinggi dalam kesusasteraan
Indonesia, yang dahulu tidak pernah dianggap sebagai bagian dari karya sastra.
Sastra reformasi ternyata mampu mengangkat cerpen sebagai karya sastra yang
paling diminati dan cepat berkembang.
3.2 DAFTAR RUJUKAN
·
http://alifaozi.blogspot.com/2011/04/artikel-sastra-pasca-reformasi.html